Salah satu keistimewaan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lain
adalah karena kemampuannya untuk menguasai ilmu pengetahuan. Dengan ilmu
pengatahuan, manusia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara praktis dan
efisien. Kemajuan teknologi telah memberikan fasilitas berlebih dan memanjakan
kehidupan manusia. Karena ilmu pengetahuanlah manusia dapat mengangkat
martabatnya dan membangun peradaban. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam
al-Qur’an: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Mujadalah [58]: 11).
Namun, di luar semua keistimewaan itu, ilmu pengetahuan juga dapat
menjadi sumber malapetaka. Dengan perangkat ilmu pengetahuan, kejahatan bukan
hanya sekedar kejahatan, tapi ia menjadi sebuah kejahatan yang sistematis dan
amat membahayakan. Dengan teknologi mutakhir, manusia menemukan cara yang
sangat mengerikan untuk membunuh sesamanya. Sebagai contoh, serangan Amerika
Serikat pada Perang Dunia II
terhadap kekaisaran Jepang,
di dengan menjatuhkan bom nuklir di kota Hiroshima dan Nagasaki merupakan bukti
nyata bahaya ilmu pengetahuan. Bom atom
ini membunuh sebanyak 140.000 orang di Hiroshima dan 80.000 di Nagasaki pada
akhir tahun 1945. Sejak itu, ribuan telah tewas akibat luka atau sakit yang
berhubungan dengan radiasi yang dikeluarkan oleh bom. Pada kedua kota,
mayoritas yang tewas adalah penduduk.[1]
Ilmu pengetahuan bak pedang bermata dua. Di tangan seorang pahlawan sejati, ia
dapat menjadi alat untuk membasmi kejahatan. Sebaliknya, ia akan menjadi bahaya
yang mengancam sesama jika berada di tangan penjahat.
Di sinilah kemudian menjadi penting untuk mengatahui hakikat ilmu
pengetahuan itu, dari mana ia berasal, dan bagaimana cara menggunakannya
sehingga ia tidak menjelma menjadi pedang yang mengancam sesama. Pengetahuan
tentang hal inilah yang dalam diskursus filsafat disebut dengan “filsafat
ilmu”. Pengetahuan akan hal ini sangat penting mengingat ilmu pengetahuan tak
pernah muncul dari ruang hampa. Di balik ilmu pengetahuan selalu ada asumsi
dasar (aksioma), kepentingan, paradigma, tujuan, dan berbagai hal yang
melatarbelakanginya. Termasuk juga tentang “syarat dan rukun” ilmu pengetahuan.
Perbedaan menyangkut hal ini akan menyebabkan perbedaan standard dan orientasi
ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, pengetahuan akan hal ini juga kian penting mengingat dewasa
ini ditengarai sebagai zaman ilmu pengetahuan. Ironisnya, definisi, paradigma,
dan standar ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan ala
Barat atau yang dikenal dengan paradigma positifistik. Syarat mutlak ilmu
pengetahuan positifistik ini adalah ia harus empiris dan rasional. Tanpa
memenuhi syarat ini maka tidak sah disebut sebagai ilmu pengetahuan, bahkan tidak
bisa disebut sebagai kebenaran. Dengan demikian, kepercayaan tentang adanya
Tuhan, hari akhir, syurga, neraka dan hal-hal gaib lain tidak dapat diterima
sebagai kebenaran. Semua itu adalah ilusi belaka yang “keilusiannya” bahkan dapat
ditelanjangi dengan penelitian-penelitian empiris. Apa yang terjadi di sini
adalah telah terjadi hegemoni paradigma.
Ironisnya, janji manis keharmonisan dan kesejahteraan paradigma
positivistik Barat ini ternyata tak terbukti. Setidaknya di balik
inovasi-inovasi monumental Barat membawa serta bahaya-bahaya mengerikan yang
mengancam kemanusiaan. Paradigma ini, dengan konsep sekularisasinya telah
menjauhkan manusia dari Tuhan.[2]
Paradigma ini, menurut Sayyid Hossein Nasr, telah menjerumuskan manusia dewasa
ke dalam krisis yang amat mendalam. Manusia modern saat ini gagal menemukan
ketenteraman batin serta kehilangan keseimbangan diri. Akar krisis itu tak lain
adalah bersumber dari penolakan terhadap hal-hal yang bersifat rohaniah atau
spiritual dan penyingkiran peran agama dalam kehidupan manusia. Dengan
memutuskan hubungan dengan Tuhan dan menyingkirkan agama, manusia merasa
terasing dalam hidupnya.[3]
Dalam keadaan inilah kemudian muncul ide islamisasi ilmu pengetahuan. Ide
ini – meminjam istilah Antonio Gramsci[4] –
dapat dibaca sebagai counter hegemony atas paradigma positifistik Barat.
Tulisan ini akan membahas secara spesifik tentang dua hal: pertama,
tentang filsafat ilmu, dan kedua, tentang islamisasi ilmu pengetahuan.
Pembahasan pertama menyangkut seputar pengertian dan urgensi pengetahuan
tentang filsafat ilmu dalam percaturan peradaban, sedangkan pembahasan kedua
akan membahas seputar dekadensi dunia modern akibat paradigma positifistik dan
ide/gerakan islamisasi pengetahuan sebagai respon atasnya.
B.
Pengertian Filsafat Ilmu
Sebelum dijelaskan apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu, ada baiknya
jika disinggung kembali makna dari filsafat. Istilah filsafat yang merupakan
terjemahan dari philolophy (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Yunani philo
(love of ) dan Sophia (wisdom). Jadi secara etimologis filsafat
artinya cinta atau gemar akan kebajikan (love of wisdom). Cinta artinya
hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh.
Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat
berarti hasrat atau keinginan yang sungguh-sungguh akan kebenaran sejati.
Demikian arti filsafat pada mulanya. Berdasarkan arti secara etimologis
sebagaimana dijelaskan di atas kemudian para ahli berusaha merumuskan definisi
filsafat. Ada yang menyatakan bahwa filsafat sebagai suatu usaha untuk berpikir
secara radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir dengan mengupas sesuatu
sedalam-dalamnya. Aktivitas tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu
kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang
tersederhana sampai yang terkompleks.
Lantas apa yang dimaksud (baca: definisi) filsafat ilmu? Menurut A.
Cornelius Benjamin filsafat ilmu adalah cabang dari filsafat yang secara
sistematis menelaah sifat dasar ilmu, khususnya mengenai metoda, konsepkonsep, dan
praanggapan-pra-anggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari
cabang-cabang pengetahuan intelektual.[5] Conny
Semiawan menyatakan bahwa filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang
berbicara tentang ilmu pengetahuan (science of sciences) yang
kedudukannya di atas ilmu lainnya.[6]
Selanjutnya Jujun Suriasumantri memandang filsafat ilmu sebagai bagian
dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang ingin menjawab tiga kelompok pertanyaan
mengenai hakikat ilmu. Pertama mempertanyakan seputar apa obyek yang
ditelaah ilmu, bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut, dan bagaimana
hubungan antara objek tadi dengan daya tangap manusia. Pertanyaan-pertanyaan
ini dalam diskursus filsafat disebuts ebagai ontologis. Kedua
mempertanyakan seputar bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya
pengetahuan yang berupa ilmu, bagaimana prosedurnya, hal-hal apa yang harus
diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar, dan apa yang
dimaksud dengan kebenaran. Pertanyaan-pertanyaan ini disebut sebagai epistemologis.
Ketiga mempertanyakan seputar untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu,
bagaimana kaitan antara cara menggunakan ilmu dengan kaidah-kaidah moral, dan
bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral yang
dalam diskursus filsafat disebut dengan aksiologis.[7]
Merujuk pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu
adalah salah satu cabang filsafat yang menelaah ilmu secara filosofis dengan
lingkup kajian ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Obyek dari filsafat
ilmu adalah ilmu itu sendiri. Di sini juga mengandung pemahaman bahwa filsafat
ilmu adalah suatu kearifan, manifestai dari kebijakan dengan melibatkan cara
berpikir abstrak-rasional yang menyeluruh untuk menggali hakikat ilmu
pengetahuan.
Dengan memahami filsafat ilmu, seseorang akan bersifat kritis,
terutama dalam menerima ilmu pengetahuan yang ada. Sebab ia mempunyai
kesadarann bahwa bangunan ilmu pengetahuan berdiri di atas berbagai struktur
pradigma yang mempunyai konskuensi dan implikasi tertentu. Dia adalah seorang
montir yang sangat paham dengan komponen struktur, desain, dan spesifikasi
kegunaan sebuah kendaraan. Penguasaan akan hal ini memungkinkannya untuk men-service,
bongkar pasang, ganti komponen, bahkan memodifikasi mobil tersebut sesuai
dengan selera dan tujuannya sendiri.
C.
Hakikat Ilmu Pengetahuan
Bagian ini akan membahas beberapa istilah kunci yaitu: ilmu, ilmu
pengetahuan, dan sains. Dari ketiga istilah ini kemudian muncul istilah
“ilmiah”. Menurut Prof. Dr. Ahmad Tafsir, kata ilmu dalam bahasa Arab berasal
dari kata “al-‘ilm” yang terjemahan bahasa Inggrisnya adalah “knowledge”.
Dalam pengertian ini, al-‘ilmi mencakup seluruh hal yang diketahui
manusia, baik yang kasat mata, maupun yang gaib. Namun dalam al-ilmi
dalam terjemahan bahasa Indonesia “ilmu” biasanya kemudian disamakan dengan science
dalam terjemahan bahasa Inggrisnya.[8] Ahmad
Tafsir kemudian berpegang pada istilah pengetahuan (knowledge) yang ia
bagi menjadi tiga katagori dengan karakter-karakter khusus sebagaimana dalam
tabel berikut:
Pengetahuan
|
Objek
|
Paradigma
|
Metode
|
Kriteria
|
Sains
|
Empiris
|
sains
|
metode
ilmiah
|
rasional-empiris
|
Filsafat
|
abstrak-rasional
|
rasional
|
metode
rasional
|
rasional
|
Mistik
|
abstrak-supra
rasional
|
mistik
|
latihan
kepercayaan
|
rasa,
iman, logis, kadang empiris
|
Tabel 1: Pengetahuan Manusia[9]
Namun menurut
pemahaman umum, apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan adalah sains itu
sendiri. Pada gilirannya, apa yang disebut dengan “ilmiah” (sesuatu yang
memenuhi standar sebagai ilmu pengetahuan) adalah sains. Tegasnya, pengetahuan
yang benar (diakui sebagai kebenaran) yang bisa dipercaya adalah “ilmu
pengetahuan” dalam arti sains dengan segala “syarat-rukunnya”. Kemudian istilah
ilmu pengetahuan ini pada gilirannya disamakan dengan istilah “ilmu” saja. Jadi
yang disebut sebagai “ilmu” adalah sains itu sendiri.
Apakah ilmu dalam pengertian sains ini? Ralp Ross dan Ernest Van Den
Haag menyatakan: “Science is empirical, rational, general and cumulative;
and it is all four at once” (ilmu adalah sesuatu yang bersifat empiris,
rasional, yang umum dan tersusun, dan keempat-empatnya terkumpul secara
serentak).[10] Mohammad Hatta
menulis,”Tiap-tiap ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum
kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut
kedudukannya dari dalam. Kemudian Karl Pearson menyatakan,”Science is the
complete and consistent description of the fact experience in the simplest
possible terms” (ilmu pengetahuan adalah gambaran menyeluruh dan konsisten
tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sesederhana mungkin).[11]
Para ilmuwan Muslim mendifiniskan agak berbeda dengan pengertian di
atas. Ibnu Taimiyah misalnya mendefinisikan ilmu sebagai sebuah pengetahuan
yang berdasarkan atas dalil (argumen yang kuat. pen.).[12]
Dalil di sini bisa berupa penelitian ilmiah, bisa juga dalil dari wahyu.
Keduanya memenuhi syarat sebagai dasar sebuah kebenaran. Pemahaman ini jelas
berbeda dengan standar “ilmiah” dalam paradigma Barat.
Penjelasan di atas menghantarkan sebuah kesimpulan bahwa istilah ilmu
pengetahuan dipahami melalui dua perspektif: pertama ilmu pengetahuan dipahami
sebagai knowledge, dan kedua dipahami sebagai science. Knowladge
adalah ilmu pengetahuan dalam arti luas dengan memasuki unsure empiris,
rasional, filosofis, sampai yang bersifat mitis. Sedangkan science adalah
pengetahuan yang bersifat empiris dan rasional saja. Sampai di sini tak ada
masalah. Ilmuwan Muslim maupun Barat kiranya dapat mengakui hal tersebut.
Permasalahannya adalah ketika hanya standar science-lah yang ditetapkan
sebagai standar kebenaran. Perlakuan semacam ini tentu tidak selaras dengan
definisi Ibnu Taimiyah di atas dan lebih tegasnya tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam yang mengakui hal-hal gaib dimana wahyu sebagai sumber
kebenarannya.
Ilmu Pengetahuan Barat yang notabene menjadi standar keilmuan
dewasa ini, sebagaimana telah dipaparkan di atas, adalah dalam pengertian
sains. Apa yang bisa disebut dengan ilmu
pengetahuan yang dapat diterima sebagai kebenaran adalah ilmu pengetahuan yang
memenuhi dua syarat; empiris dan rasional yang kemudian oleh Auguste Comte
disebut dengan pengetahuan positifistik.[14]
Pengetahuan yang bersifat filosofis dan mistis (gaib) tidak mendapat tempat
dalam paradigma sains Barat.
Empirisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa pengetahuan
manusia didapatkan dari sesuatu yang dapat dilihat, sesuatu yang nyata
(empiris). Yang benar adalah yang nampak mata, yang dapat diindera, dan dapat
diobservasi. Ini berarti semua pengetahuan betapapun
rumitnya dapat dilacak kembali melalui observasi, dan apa yang tidak dapat
dibuktikan secara observasi bukanlah ilmu pengetahuan dan bukan kebenaran.
Rasionalisme adalah paham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason)
adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut aliran
rasionalisme, seluruh pengetahuan manusia diperoleh dengan cara berpikir.
Pengertian lain rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat
yang menyatakan bahwa kebenaran ditentukan melalui pembuktian, logika, dan
analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran
agama. Latarbelakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan
diri dari segala pemikiran tradisional Eropa abad pertengahan yang didominasi
oleh kekuasaan gereja yang membelenggu akal pikiran (rasio).
Rene Descartes (1596-1650 M) tokoh utama aliran ini menyatakan bahwa
untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran manusia harus terlebih dahulu
meragukan segala sesuatu. Jadi keragu-raguan adalah dasar dari pengetahuan.
Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercayai adalah
akal, bukan Tuhan, nabi, wahyu, dan kitab suci. Hanya rasio sejarah yang dapat
membawa orang kepada kebenaran. Rasio pulalah yang dapat memberi pemimpin dalam
segala jalan pikiran.[15]
Salah satu prinsip atau lebih tepat dikatakan sebagai ‘jargon” utama
sains adalah sikapnya yang netral (value free). Sains harus menyatakan
dan mengatakan ada adanya tanpa ada pretense, motif, ideology, nilai, dan
pretense-pretensi lain. Netralitas sains inilah yang menjaga agar semua temuan
ilmu pengetahuan dapat dihasilkan, dilihat, dan dipercayai secara obyektif.
Dalam perjalanan sejarah paradigma positifistik inilah yang diamini dan diimani
sebagai “satu-satunya” alat yang obyektif untuk menemukan kebenaran.
Kenyataan sejarah memang menunjukkan bahwa paradigma positifistik ini
telah melahirkan begitu banyak karya monumental dan kemajuan teknologi yang
semakin canggih. Sains Barat berhasil dengan sukses menyihir hampir semua
belahan dunia untuk mengikuti langkahnya. Barat tampil sebagai monumen
peradaban yang dikagumi oleh semua pihak. Hingga kini, Islam, yang dahulu
pernah tampil sebagai pemenang peradaban, kini harus mengakui bahwa ia
tertinggal begitu jauh dalam penguasaan teknologi dibandingkan dengan Barat.
Namun di balik gemerlap kemajuan Barat, ternyata membawa serta bencana
dan malapetaka yang begitu dahsyat. Sikap netral sains Barat sejatinya tidaklah
benar-benar netral. Sains Barat bersetubuh dengan banyak kepentingan (baca:
banyak nilai), dan yang lebih menonjol adalah kepetingan pragmatis. Tak pelak,
paradigma poistifisme menebarkan wabah nestapa kemanusiaan. Semua ini
menghantarkan sebuah kesimpulan bahwa zaman modern ternyata menimbulkan begitu
banyak malapetaka. Beberapa hal potitif yang dibawa oleh zaman modern telah
berlari begitu jauh meninggalkan norma agama dan norma sosial. Bahkan tokoh
Barat sendiri yang nota bene anti agama juga mengakui hal ini. Durkheim
misalnya, seorang sosiolog Barat ternama, mengakui bahwa masyarakat modern
telah mengalami krisis norma (normlesness). Kecanggihan teknologi
berlari begitu jauh meninggalkan kemampuan moralitas manusia untuk
mengimbanginya yang oleh Ogburn disebut sebagai cultural lag.
Ringkasnya, peradaban materi melesat lebih cepat melampaui hal-hal yang
bersifat spiritual sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan.[16]
Paradigma positifistik juga telah menyebabkan disharmoni antar manusia
dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan alam semesta dimana
ketiganya adalah kunci pokok keharmonisan hidup.[17] Hilangnya
harmoni antar manusia ini ditandai oleh semakin menguatnya sikap individualism,
materilaisme, dan hedonisme. Manusia satu sama lain berlomba mengejar
kepentingannya sendiri-sendiri. M. Syafii Maarif menyebut zaman modern sebagai
zaman yang telah kehilangan rasa cinta.[18]
Berulangkali Barat yang mengakui sebagai pionir humanis justru melanggar
humanisme itu sendiri. Sains ternyata menjadi alat baru untuk menjajah bangsa
lain.
Kekejian Israel, tindakan semena-mena Amerika untuk membombardir Irak,
skenario penggulingan presiden Muammad Qadzafy, Presiden Lybia, dan terakhir
teror AS atas Irak menunjukkan arogansi nyata dari “pemangku” sains ini.
Benarkan semua itu adalah dalam rangka menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM)?
Barangkali benar pengamatan beberapa pakar bahwa Barat (baca; Amerika Serikat) sedang
berburu minyak di daerah-daerah yang menjadi targetnya. Sudah bukan rahasia
lagi kalau AS sekarang ini sedang dililit problem finansial yang sangat akut.
Paradigma positifistik juga telah menyebabkan disharmoni antara manusia
dengan alam. Di hadapan manusia modern, alam adal obyek yang sah untuk
dieksploitasi demi memenuhi kebutuhan atau lebih tepatnya keserakahan mereka. Hiruk-pikuk
kehidupan modern telah menebarkan polusi akut yang mengancam jebolnya lapisan
ozon. Akibatnya alam pun berbalik menjadi musuh mereka. Banjir, longsor, angin
putting beliung, tornado, bahkan tsunami terjadi di mana-mana. Kiranya benar
apa yang dikatakan Alexis Carel bahwa peradaban manusia modern dibentuk tanpa
mengenal tabiat manusia yang sesungguhnya. Ia dibentuk atas dasar fiksi-fiksi
ilmiah, hawa nafsu dan teori-teori belaka.[19]
Hal yang paling parah adalah paradigma positifistik telah menyebabkan
disharmoni antara manusia dengan Tuhan. Sebagian banyak ilmuwan Barat telah
mendeklarasikan sikap “anti Tuhan” dan anti agama. Niatszche menyatakan baha
Tuhan telah mati. Sedangkan Karl Marx mengatakan bahwa agama adalah inti dari sebuah dunia yang kejam (the
heart of a heartless world), agama adalah tempat berlindung dari tindakan
kekerasan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Marx agama merupakan “candu bagi rakyat” (opium
of the people).[20]
Dampak dari situasi semacam ini adalah hilangnya orientasi hidup yang
bermakna. Menurut Yusuf al Qaradhawi, manusia sekuler cenderung kehilangan
orientasi hidupnya yang bermakna karena mereka mengingkari hal-hal yang
bersifat metafisis dan gaib seperti mengingkari adanya Tuhan Pencipta Alam,
Rasul yang menerima wahyu, kehidupan dan kebangkitan manusia di alam akhirat,
serta nilai-nilai ideal yang bersifat abstrak yang datang dari agama karena
tidak dapat diobservasi melalui panca indera dan berada di luar kaidah
empirisme dan rasionalisme.
Lantaran begitu yakin bahwa manusia hanya terdiri atas unsur jasmani dan
mengenyampingkan dimensi rohani, menyakini tidak ada lagi kehidupan setelah
mati, maka kebahagiaan hidup yang dianggap hakiki adalah kepuasan jasmaniah
belaka serta tidak mengenal adanya konsep pertanggungjawaban amal di akhirat.
Oleh karena itu, menurut Yusuf al Qaradhawi, tak mengherankan bila terjadi
pergeseran tata nilai dari semangat mementingkan rohani yang bersifat jangka
panjang kepada kepuasan hedonistis yang bersifat sesaat dan sementara.[21]
Tujuan hidupnya terbatas pada pencapaian sasaran-sasaran yang bersifat materi
dan duniawi. Yang terpenting baginya adalah bekerja, mencari uang lalu
bersenang-senang. Salah satu ciri manusia yang demikian adalah meningkatnya
kebutuhan hidup secara berlebih-lebihan tanpa mengenal jeda dan membuat manusia
semakin sengsara.
E.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
1.
Latar belakang dan Pengertian
Dampak buruk paradigma positifistik di atas kemudian
memicu reaksi dari berbagai kalangan. Secara umum mereka menyimpulkan bahwa
model peradaban Barat dengan sains positifistiknya tidak membawa harapan
positif bagai masa depan kemanusian. Berbagai solusi coba mereka rumuskan. Di antara
tawaran solusi yang paling kuat adalah muncul dari para ilmuwan Muslim. Para
ilmuwan ini mengusung ide (bahkan beberapa tokoh telah mulai
mengimplementasikannya) yang disebut dengan islamisasi ilmu pengetahuan. Ide
ini tentu saja bukan ide latah. Di samping karena melihat peradaban Barat yang
sedang berada di ambang keruntuhan, ide ini juga mempunyai akar historis yang
kuat dimana Islam pernah tampil secara gemilang di panggung peradaban.
Jika mau diurai lebih panjang, latarbelakang
islamisasi ilmu pengetahuan tentunya disebabkan oleh berbagai faktor yang satu
sama lain saling berjalin-berkelindan. Namun demikian, latar belakang utamanya
– hemat penulis – adalah karena dua faktor yang meliputi faktor internal dan
faktor eksternal.
Pertama, faktor internal adalah faktor di dalam
Islam itu sendiri yang meliputi dua hal pokok yaitu: pertama, kesempurnaan
Islam yang ajarannnya meliputi segala bidang.[22]
Semua ini bukan sekedar nilai ideal di atas kertas, tapi semuanya pernah
terwujud secara gemilang di atas panggung peradaban. Adalah sangat logis jika
masa lalu itu menjadi cermin yang kuat untuk mencipta kembali masa kini.
Kedua, keadaan umat Islam yang sampai hari ini dalam hal teknologi masih
tertinggal dengan Barat. Dalam hal ini, islamisasi ilmu pengetahuan adalah
salah satu manifestasi dari semakin menguatnya arus pembaharuan Islam yang
kritis dengan Barat.
Kedua, faktor ekstrenal adalah perdaban Barat
yang menurut prediksi para pakar sekarang ini sedang mengalami penurunan, atau
bahkan kehancuran. Paradigma positifistik Barat dengan berbagai dampak
negatifnya adalah latar belakang yang kuat bagi munculnya islamisasi ilmu
pengetahuan ini. Di titik kehancuran Barat, Islamlah peradaban yang paling
diperhitungan oleh banyak kalangan yang akan menggantikan peradaban Barat,
sampai-sampai Samuel Huntington, seorang ilmuwan Barat memberikan warning bahwa
akan terjadi benturan peradaban (clash of civilization) antara Barat dan
Islam.
Lantas apa sebenarnya yang dimaksud dengan islamisasi
ilmu pengetahuan? Menurut Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, islamisasi ilmu pengetahuan adalah proses pembebasan manusia
dari unsur-unsur magis, mitologi, animisme, dan tradisi kebudayaan kebangsaan
serta penguasaan sekular atas akal dan bahasanya. Dengan kata lain, islamisasi
ilmu pengetahuan adalah pembebasan akal atau pemikiran dari pengaruh pandangan
hidup yang diwarnai oleh kecenderungan sekular, primordial, dan mitologi.[23]
Ismail al-Faruqi mendefiniskan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai usaha untuk
mereformulasi ilmu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data,
memikirkan kembali argument dan rasiionalisasi yang berhubungan dengan data
itu,menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan ilmu
pengetahuan sesuai dengan visi Islam.[24]
Bagi Al-Attas, islamisasi ilmu pengetahuan mengacu
kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk
kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup
dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang
dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam
kehidupan rohani sekaligus penguasaan terhadapnya.
Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya
adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keislaman. Sehingga dengan
demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar; ilmu pengetahuan yang
selaras dengan fitrah. Dalam bahasa lain, islamisasi ilmu pengetahuan menurut
Al-Atas dapat ditangkap sebagai upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari
pemahaman berasaskan ideologi, makna serta ungkapan sekuler.
Sementara menurut Ismail al Faruqi, islamisasi ilmu
pengetahuan dimaknai sebagai upaya pengintegrasian disipilin-disiplin ilmu modern
dengan khazanah warisan Islam. Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan upaya
mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, strateginya, dan dalam
apa yang dikatakan sebagai data-data, problemnya, tujuan-tujuannya dan
aspirasi-aspirasinya.” Terkait dengan ini maka setiap disiplin ilmu mesti
dirumuskan sejak awal dengan mengkaitkan Islam sebagai kesatuan yang membentuk
tauhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan
sejarah. Ia harus didefinisikan dengan cara baru, data-datanya diatur,
kesimpulan-kesimpulan dan tujuan-tujuannya dinilai dan dipikir ulang dalam
bentuk yang dikehendaki Islam.
Adapun menurut Syed Hossein Nasr, islamisai ilmu
pengetahuan adalah upaya menerjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang dipahami
masyarakat Muslim. Islamisasi berarti mempertemukan cara pikir dan cara bertindak masyarakat Barat dengan masyarakat
Muslim. Dengan demikian, islamisasi pengetahuan dalam perspektif Nasr ada pada
tataran epistemologi dan aksiologi.[25]
2.
Landasan Filosofis
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan
bahwa filsafat adalah suatu usaha untuk mengkaji sesuatu secara mendalam dengan
cara berpikir secara radikal, rasional dan menyeluruh, untuk menghasilkan
kesimpulan universal. Kattsoff, menyatakan bahwa karakteristik filsafat adalah:
berpikir secara kritis, berpikir secara sistematis, berpikir secara
komprehensif, dan berpikir secara rasional untuk menghasilkan kesimpulan yang
runtut (baca: logis dan sistematis). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
apa yang dimaksud dengan landasan filosofis adalah landasan-landasan
argumentatif-reflektif yang bersifat kritis, rasional dan sistematis berkenaan
dengan islamisasi ilmu pengetahuan.
Paling tidak ada dua alasan utama yang
menjadi landasan filosofis munculnya islamisasi ilmu pengetahuan. Pertama, asumsi bahwa ilmu pengetahuan bersifat bebas
nilai (falue free), sebagaimana yang digembar-gemborkan para pemikir
Barat sekular sebenarnya sangat tidak realistis. Di Barat sendiri banyak para
filosof yang menentangnya misalnya para filosof madzhab Frankfut. Di antara
logika penolakan itu adalah bahwasanya ilmu yang dihasilkan oleh manusia pada
hakikatnya adalah produk daru suatu agama atau budaya tertentu. Demikian, ia
pasti tak bisa melepaskan diri dari praduga dan asupan nilai agama atau pun
budaya tempat ia berasal.[26]
Jadi yang dimaksud netral ternyata bukannya netral sama sekali, tapi netral
dari agama. Dengan kata lain, netralisasi ilmu pengetahuan adalah kata lain
dari sekularisasi ilmu pengetahuan. Karena itulah yang terjadi sama sekali
bukannya netral, tapi berpihak pada ideologi sekular, bahkan ilmu pengetahuan
dibajak sebagai alat legitimasi dalam mengegolkan kepentingan-kepentingan
pragmatis.
Dengan nada yang sama, Mulyadi
Kartanegara membedakan antara ilmu dan fakta. Menurutnya, fakta boleh netral,
tapi ilmu tidak mungkin netral. Padahal ilmu tidak hanya fakta, tapi juga
penjelasan-penjelasan (rasionalisasi) dari sang ilmuwan atau dalam bahasa Barat
perpaduan antara yang empiris dan rasional. Pemaknaan rasional atas fakta yang
dilakukan oleh sang ilmuwan ini tentu saja tidaklah netral. Sebagai makhluk
yang minimal berbudaya, ia tentu tak bisa melepaskan diri dari “kacamata
budaya” yang ia pakai.[27]
Ketidaknetralan ilmu pengetahuan inilah
yang kemudian membuatnya dapat “dinaturalisasi” dengan berbagai unsur atau pun
nilai lain. Karenanya, Islam, sebagai agama yang sarat nilai (bahkan telah
menjadi fenomena peradaban) juga dapat melakukan naturalisasi terhadap ilmu
pengetahuan tersebut. Naturalisasi inilah yang pada tataran prakisis sering
disebut dengan islamisasi ilmu pengetahuan. Secara lebih spesifik, islamisasi
pengetahuan adalah proses desekularisasi ilmu pengetahuan dengan asupan
nilai-nilai Islam.
Kedua, Islam tidak mengenal dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan.
Dalam Islam, sumber pengetahuan juga tidak terbatas pada yang empiris dan
rasional semata. Islam memasukkan dimensi metafisis (baca: gaib) dalam struktur
epistemologinya. Alam, termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan adalah realitas
yang berhubungan erat dengan Tuhan dan dimensi gaib lain. Meminjam istilah
Mulyadi Kartanegara, alam ini adalah cermin dari sifat-sifat Allah SWT. Ia
adalah tanda (ayat) dari eksistensi Allah SWT.[28] Karenanya,
ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang paralel, bahkan sebagai kesatuan struktur
daripada Islam itu sendiri.
Ketiga, adalah merupakan sesuatu yang niscaya
bahwa suatu hal yang berada dalam tekanan pihak lain ia cenderung melakukan
perlawanan terhadap pihak yang menekan. Dengan meminjam kacamata “hegemony-counter
hegemony” Gramsci, islamisasi ilmu pengetahuan adalah merupakan ekspresi
dari counter hegemony Islam atas dominasi (baca: hegemony) Barat.
Atau jika meminjam model dialektika Hegel[29]:
tesis – anti tesis – sintesis, islamisasi ilmu pengetahuan adalah anti tesis
dari paradigma positifistik Barat yang sekular. Selanjutnya ia ingin melahirkan
satu bentuk sintesa baru berupa ilmu pengetahuan yang integral dengan
nilai-nilai ajaran Islam.
3.
Langkah-langkah
Implementatif
Menurut Al-Attas, sebelum islamisasi ilmu
dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah islamisasi bahasa.
Menurutnya, islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika
pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling
berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau
pikiran. Islamisasi bahasa Arab yang
termuati ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah mengubah kedudukan bahasa
Arab, di antara bahasa-bahasa manusia, menjadi satu-satunya bahasa yang hidup
yang diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru dan tersempurnakan
sampai tingkat perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar Islam, tidak
tergantung pada perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan
sosial seperti halnya semua bahasa lainnya yang berasal dari kebudayaan dan
tradisi. Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab
suci al-Qur’an kepada manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa
perubahan, tetap hidup dan tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur.
Oleh karena itu, arti istilah-istilah yang bertalian dengan Islam, tidak ada
perubahan sosial, sehingga untuk segala zaman dan setiap generasi pengetahuan
lengkap tentang Islam menjadi mungkin, karena pengetahuan tersebut termasuk
norma-normanya merupakan suatu hal yang telah terbangun mapan, dan bukan
termasuk sesuatu yang berkembang seperti halnya dengan manusia dan sejarah yang
dikatakan berkembang.
Sedangkan dalam
prosesnya, islamisasi yang dicanangkan oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah
yaitu:
1.
Mengisolisir unsur-unsur dan
konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Unsur-unsur
tersebut terdiri dari: (a) pengutamaan akal sebagai satu-satunya alat untuk
membimbing kehidupan manusia, (b) sikap dualistik terhadap realitas dan
kebenaran (The concept of dualism which involved of reality and truth), (c)
penegasan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular
worldview), (d) pembelaan berlebihan atas doktrin humanism (the doctrine
of humanism), (e) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang
dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
2.
Memasukkan unsur-unsur Islam
beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini
yang relevan. Al-Attas menyarankan,
agar unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep
asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu: (a) konsep agama (ad-din),
(b) konsep manusia (al-insan), (c) konsep pengetahuan (al-‘ilm dan
al-ma’rifah), (d) konsep kearifan (al-hikmah), (e) konsep keadilan (al-‘adl),
(f) konsep perbuatan yang benar (al-‘amal), (g) konsep universitas (kulliyyah
jami’ah).
Jadi menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah
utama yang saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsur-unsur
dan konsep-konsep penting Barat dari suatu ilmu, dan kedua, memasukkan
unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya. Dan untuk memulai kedua proses diatas,
al-Attas menegaskan bahwa islamisasi diawali dengan islamisasi bahasa dan ini
dibuktikan oleh al-Qur’an. Sebab
alasannya, “bahasa, pemikiran dan rasionalitas berkaitan erat dan saling
bergantung dalam memproyeksikan pandangan dunia (worldview) atau visi
hakikat kepada manusia. Pengaruh islamisasi bahasa menghasilkan islamisasi
pemikiran dan penalaran,” karena dalam bahasa terdapat istilah
dan dalam setiap istilah mengandung konsep yang harus dipahami oleh akal
pikiran. Di sinilah pentingnya pengaruh islamisasi dalam bahasa, karena
islamisasi bahasa akan menghasilkan islamisasi pemikiran dan penalaran.
Al-Faruqi juga
menawarkan suatu rancangan kerja sistematis yang menyeluruh untuk program
islamisasi ilmu pengrtahuannya yang merupakan hasil dari usahanya selama
bertahun-tahun melaksanakan perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi melalui
sejumlah seminar internasional yang diselenggarakan. Rencana kerja al-Faruqi untuk program
islamisasi mempunyai lima sasaran yaitu: pertama, menguasai
disiplin-disiplin modern. Kedua, menguasai khazanah Islam. Ketiga,
menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan
modern. Keempat. mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif
antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Dan kelima,
mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan
pola rancangan Allah.
Menurut al-Faruqi,
sasaran di atas bisa dicapai melalui 12 langkah sistematis yang pada akhirnya
mengarah pada Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu: pertama, penguasaan
terhadap disiplin-disiplin modern. Kedua, peninjauan disiplin ilmu
modern. Ketiga, penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa antologi. Keempat, penguasaan ilmu warisan
Islam yang berupa analisis. Kelima, penentuan relevansi Islam yang
spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi ini, kata al-Faruqi, dapat
ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan yaitu: a). Apa yang telah
disumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Qur’an hingga pemikiran-pemikiran kaum
modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup oleh disiplin-disiplin
modern; b). Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil
yang telah diperoleh oleh disiplin-disiplin tersebut; c) Apabila ada
bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau bahkan sama sekali tidak
diabaikan oleh ilmu warisan Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan
untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalah-masalah, dan
memperluas visi disiplin tersebut. Kemudian yang keenam, penilaian
kritis terhadap disiplin modern. Ketujuh, penilaian krisis terhadap
khazanah Islam. Kedelapan, survei mengenai problem-problem terbesar umat
Islam. Kesembilan, survei mengenai problem-problem umat manusia. Kesepuluh,
analisa dan sintesis kreatif. Kesebelas, merumuskan kembali
disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Dan kedua
belas, penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan. Selain
langkah tersebut, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan
adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan
berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan
masalah-masalah yang menguasai antar disiplin. Para ahli yang terlibat harus
diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan
pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metode yang diperlukan.
Demikian langkah
sistematis yang ditawarkan oleh al-Attas dan al-Faruqi dalam rangka islamisasi
ilmu pengetahuan. Walaupun keduanya memiliki sedikit perbedaan di dalamnya,
namun pada intinya, keduanya memiliki visi yang sama. Dari kesemua langkah yang
diajukan oleh kedua tokoh ini, tentunya dalam aplikasinya, membutuhkan energi
ekstra dan kerja sama berbagai belah pihak. Karena, islamisasi merupakan proyek
besar jangka panjang yang membutuhkan analisa tajam dan akurat, maka dibutuhkan
usaha besar pula dalam mengintegrasikan setiap disiplin keilmuan yang digeluti
oleh seluruh cendekiawan muslim.[30]
F.
Kesimpulan
Penjelasan di atas tentu saja belum emadai untuk mendeskripsikan tema
yang begitu penting dan mempunyai cakupan yang amat luas ini. Namun demikian
kiranya dapat dijadikan titik berangkat (starting point) menuju
penjelasan yang lebih mendalam. Meski demikian, setidaknya penjelasan di atas
telah menggambarkan beberapa bagian penting dari tujuan yang diinginkan.
Beberapa hal penting yang dapat disimppulkan dari penjelasan di atas adalah
sebagai berikut:
Pertama, di era globalisasi dimana dunia satu sama lain telah
terhubung tanpa batasan (borderless), pemahaman tentang filsafat ilmu
merupakan hal yang sangat urgen dalam percaturan perdaban. Tanpa memahaminya,
manusia akan mudah terombang-ambing oleh derasnya arus informasi budaya global.
Bagi umat Islam, pemahaman akan hal ini menjadi kian penting mengingat ajaran
Islam adalah satu-satunya pedoman hidup yang senantias harus dijaga dari
infiltrasi budaya asing, terutama budaya Barat sekular yang anti Islam. Tanpa
memahami secara mendalam kerangka epistemologis bangunan keilmuan Islam akan
membuat nilai-nilai Islam tergerus dan tersubordinasi di bawah ideologi
sekular.
Kedua, paradigma positifistik Barat harus diakui telah
mengahsilkan banyak karya untuk peradaban manusia. Namun telah tampak nyata
juga bahwa paradigma Barat juga membawa serta bencana yang begitu membahayakan
bagi peradaban manusia. Pada sisi ini, dapat dikatakan bahwa peradaban Barat
telah mengalami titik buntu. Paradigma materialistik bukan hanya tak relevan
dengan ajaran Islam, tapi juga terbukti telah mengalienasi manusia dari
kebahagiaan hidup sejati yang menjadi tujuan mereka. Pengagungan Barat atas
humanisme ternyata memberikan sebaliknya.
Ketiga, islamisasi dalam hal ini adalah langkah tepat yang
bertepatan dengan momen yang tepat. Umat
Islam harus merespon dan mendukung dengan baik upaya ini untuk mewujudkan tata
kehidupan yang islami. Langkah ini sebenarnya bukan dalam rangka sekedar untuk
menunggulkan umat Islam. Namun lebih sebagai solusi atas krisis peradaban
modern yang sampai hari ini belum ada solusinya. Islam adalah satu-satunya
harapan untuk menjawab semua kecemasan atas krisis modernisme menuju kehidupan
yang religious, berkemajuan, dan berkeadaban.
Keempat, langkah kerja islamisasi ilmu dapat dirujuk pada dua
tokoh paling berpengaruh: Naquib Al-Attas dan Islmail al-Faruqi. Menurut
Al-Attas, langkah-langkah islamisasi ilmu menempuh dua hal pokok: pertama,
mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan
peradaban Barat. Kedua, memasukkan
unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu
pengetahuan saat ini yang relevan. Adapun menurut al-Faruqi dapat dilakukan
dengan menempuh 12 langkah pokok, yaitu: pertama, penguasaan terhadap
disiplin-disiplin modern. Kedua, peninjauan disiplin ilmu modern. Ketiga,
penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa antologi. Keempat, penguasaan
ilmu warisan Islam yang berupa analisis. Kelima, penentuan relevansi
Islam yang spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Keenam, penilaian kritis
terhadap disiplin modern. Ketujuh, penilaian krisis terhadap khazanah
Islam. Kedelapan, survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Kesembilan,
survei mengenai problem-problem umat manusia. Kesepuluh, analisa dan
sintesis kreatif. Kesebelas, merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu
dalam kerangka kerja (framework) Islam. Kedua belas,
penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Syed Muhammad Al Naquib, 1981, Islam Dan Sekularisme,
Bandung: Penerbit Pustaka.
-------------, 1993, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Qardhawi, Yusuf, 2001, Umat Islam Menyongsong Abad ke-21, Solo:
Era Intermedia.
Anshari, Endang Saefuddin, 1987, Ilmu
Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu.
Gie, The
Liang Gie, 1991, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty.
Handrianto, Budi, 2010, Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengislamkan
Sains Barat Modern, Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Hasyim, Rosnani Hashim, 2005, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan, Majalah Islamia,
Volume: 6.
Hemersma, Harry, Dr., 1992, Tokoh-tokoh
Filsafat Barat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Johnson, Doyle Paul, 1994, Sociological Theory, Clasical Founders and
Contemporary Perspectives, terj. Robert M.Z. Lawang, dalam, Teori
Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Karatnegara, Mulyadi, 2003, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar
Epistemologi Islam, Bandung: Mizan.
--------------, 2007, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam,
dan Manusia, Jakarta: Erlangga.
Maarif, Syafii, 1993, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia,
Bandung: Mizan.
Marx, Karl Marx, Capital,
Volume: 1, 1997, Vintage
Books Edition, introduced by Ernest Mandel and Translated by Ben Fowkes,
New York: Random House.
Mirri, Seyyed Mohsen, 2004, Sang Manusia Sempurna: Antara Filsafat
Islam dan Hindu, Jakarta: Teraju.
Nashir, Haedar, 1997, Agama dan Krisis kemanusiaan Modern,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Nizar, Syamsul, Prof., Dr., 2008, Sejarah Pendidikan
Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Semiawan,
Conny, et al., Dimensi Kreatif
dalam Filsafat Ilmu, 1998, Bandung: CV Remaja Karya.
Simon,
Roger, 2001, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, terj. Hamdani dan Imam
Baehaqi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Sumarna, Cecep, 2005, Rekonstruksi Ilmu: Dari Empirik-Rasional
Atheistik ke Empirik-Rasional Theistik, Bandung: Benang Merah Press.
Suriasumantri, Jujun S., 2005, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 2005.
Tafsir, Ahmad, 2000, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya.
------------, 2009, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi,
dan Aksiologi Pengetahuan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Zarkasy, Hamid Fahmi, 2008, “Makna Sains Islam”, Majalah Islamia,
Volume: III, No. 4.
Internet:
http://www.bepress.com/gej/vol10/iss2/2.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_bom_atom_di_Hiroshima_dan_Nagasaki.
Diakses pada tanggal 7 Maret 2012.
[2] Sekularisasi
menurut Naquib Al-Attas, adalah pembebasan manusia dari agama dan kemudian
metafisika atau pembebasan alam dari nada-nada keagamaan. Lihat: Syed Muhammad
Al Naquib Al-Attas, Islam Dan Sekularisme, Bandung: Penerbit Pustaka,
1981, hlm 20-21.
[3]
Mulyadhi Kartanegara kata pengantar dalam Seyyed Mohsen Miri, Sang Manusia
Sempurna: Antara Filsafat Islam dan Hindu, Jakarta: Teraju, 2004, hlm. v.
[4] Grammsci Pemikir besar asal Italia. Hegemoni dalam
pengertian Gramsci adalah sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang
dominan, yang disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun
perorangan. Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa
hegemoni merupakan dominasi kekuasaan
atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok
masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat
lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara tidak sadar kemudian mengikutinya
dengan tanpa paksaan. Untuk melawan keadaan ini kemudian ada istilah “counter
hegemony” yang berarti pembalikan atau perlawanan serupa. Lihat: Roger
Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, terj. Hamdani dan Imam Baehaqi,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001.
[5] The Liang Gie, Pengantar Filsafat
Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1991, hlm. 58.
[6] Conny Semiawan, et al., Dimensi Kreatif dalam
Filsafat Ilmu, Bandung: CV Remaja Karya, 1998, hlm. 45.
[7] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta: Sinar Harapan, 2005, hlm. 33-34.
[8]
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi Pengetahuan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, cet. IV, hlm.
3.
[9]
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hlm. 11.
[10]
Lihat: Endang Saefuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina
Ilmu, 1987, hlm. 47. Sebagaimana dikutip Budi Handrianto dalam; Budi
Handrianto, Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern,
Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2010, hlm. 43.
[11]
Budi Handrianto, Islamisasi Sains, hlm. 43-44.
[12]
Budi Handrianto, Islamisasi Sains, hlm. 50.
[13]
Dalam pembahasan ini barangkali ada bagian yang merujuk pada ontologi. Namun
ada juga yang merujuk pada epistemologi atau pun aksiologi. Penulis memilih
kata “paradigma” untuk mewadahi persinggungan ketiga istilah tersebut.
[14]
Auguste Comte membagi perkembangan sejarah dalam tiga tahap: (1) tahap
teologis, (2) tahap metafisis, (2) tahap positifis. Tahap positifis-lah yang
disebutnya sebagai tahapan modern. Lihat: Doyle Paul Johnson, Sociological
Theory, Clasical Founders and Contemporary Perspectives, terj. Robert M.Z. Lawang, dalam, Teori Sosiologi
Klasik dan Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994.
[15] http://id.wikipedia.org/wiki/Rasionalisme,
lihat juga: Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, cet. 9, h. 24-25.
[16]
Haedar Nashir, Agama dan Krisis kemanusiaan Modern, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 1997, hlm. 4.
[17]
Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu: Dari Empirik-Rasional Atheistik ke
Empirik-Rasional Theistik, Bandung: Benang Merah Press, 2005, hlm. 29.
[18]
Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung:
Mizan, 1993, hlm. 17-21.
[19]
Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu, hlm. 40-41.
[20] Karl Marx, Capital, Volume One, Vintage Books
Edition, introduced by Ernest Mandel and Translated by Ben Fowkes, New York: Random House, 1977, hlm. 518.
[21]
Yusuf al Qaradhawi, Umat Islam Menyongsong Abad ke-21, Solo: Era
Intermedia, 2001, hlm. 41-42.
[22] Scheherazade
S. Rachman dan Hossein Askari dua cendekiawan di Universitas George Washington
yang baru-baru ini mengadakan penelitian tentang Indeks Keislaman (Islamicity
Index), sebagaimana dilaporkan dalam Global Economic Journal, The Berkeley
Electronic Press Volume 10 (2010) / Issue 2 /Article, menyatakan bahwa hanya
Islamlah yang ajarannya kompatibel dengan dunia modern dan dapat dikonkritkan
dalam indikator yang measurable. Lihat:
http://www.bepress.com/gej/vol10/iss2/2.
[23]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur:
ISTAC, 1993, hlm. 44.
[24]
Dikutip dari tulisan Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan, Majalah Islamia,
Volume: 6, tahun 2005.
[25]
Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu, hlm. 147.
[26]
Hamid Fahmi Zarkasy mengelaborasi argumentasi ini dalam, “Makna Sains Islam”,
Majalah Islamia, Volume: III, No. 4, 2008, hlm. 6, sebagaimana dikutip Budi
Handrianto dalam: Budi Handrianto, Islamisasi Sains, hlm. 74-75.
[27]
Budi Handrianto, Islamisasi Sains, hlm. 75. Lihat juga: Mulyadi
Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam,
Bandung: Mizan, 2003, hlm. 120.
[28]
Mulyadi Kartanegara menyebut cara pandang ini sebagai “tasawuf positif” sebagai
lawan dari cara pandang postifis Barat sebagai representasi ekstrim kiri dan
cara pandang panteistik Islam sebagai representasi dari ekstrim kiri. Lihat:
Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan
Manusia, Jakarta: Erlangga, 2007, hlm. 40.
[29]
George Wilhem Friederich Hegel (1770-1831), filosof asal Jerman. Lihat
misalnya: Dr. Harry Hemersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1992, hlm. 39.
[30] http://www.inpasonline.com. Lihat juga: Prof.
Dr. Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008, hlm. 263-271.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar