Selasa, 25 September 2012

COBA ENTRY LAGI


Maka aku saat ini rasanya setuju bahwa “tak ada“ hukum Allah dalam urusan mu’amalat. Maksudnya bahwa Allah telah memberikan akal untuk mendefinisikannya. Bukannya Allah memberikan ketentuan-ketentuan baku yang rigid dan absolut. Jadi, dalam masalah mu’amalat tak ada ayat yang sifatnya qot’i tafshili. Ayat-ayat yang terkait dengan masalah ini bersifat mujmal zhonni.  Atau tafsili zhonni. Jadi di sinilah pentingnya kita mencari semangat al-Quran dalam suatu hukum. Sekaligus  semangat inilah yang dikatakan sebagai qoth’i. Dalam hal ini memang bisa jadi kita terlihat keluar dari teks.

      Istilah ta’aquli adalah ayat-ayat yang sifatnya mudah dicerna akal. Bahkan dengan logika yang sederhana. Jadi, ta’aquli bukannya pencernaan akal yang sifatnya filosofis, sebagaimana memaknai hikmah yang ada dalam setiap ritual. Hal ini adalah sifatnya hanyalah sangkaan dan sangat minus. Bahkan penekanannya lebih ke arah memperkukuh ritual. Bukannya menghilangkannya dengan menyeretnya ke dataran logis. Jadi, dalam hal ini, rasionalisasi  yang berkenaan dengan ritual mahdhah bersifat membela ayat ritual itu. Bukannya membredelinya.

      Tapi permasalahannya adalah logika yang seperti ini sebagaimana apologi saja dan teleologis. Lantas, apakah ayat-ayat ta’aquli itu hanya yang berkaitan dengan hal-hal yang mu’amalat? Menurutku “iya”. Kemudian dalam hal ini apakah ayat-ayat ta’aquli tidak ada yang bersifat sakral? Jawabnya adalah tidak! Ayat-ayatnya adalah elastis dan universal. Tapi bukan berarti bisa dirasionalisai sesuai selera manusia. Ada ruh-ruh reliji universal yang tak boleh diabaikan. Nah, dalam hal ini maqashidu syar’iyyah memang menjadi aktual.

15 September 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar